Manado, adalah kota terbesar kedua di Sulawesi setelah Makassar. Kota yang indah. Terletak di tepi pantai. Sejak sepuluh tahun terakhir namanya kian harum semerbak. Arah utara, timur dan selatan dikelilingi bukit landai, bergelombang, dan barisan pegunungan yang hijau. Sebelah barat berview laut biru, yang dihiasi tiga pulau eksotik : Bunaken, Manado Tua dan Siladen, yang terkenal dengan pesona wisata bawah lautnya.
Keindahan alam, lingkungan sosial dan budayanya menyimpan banyak cerita, namun hanya sebagian yang tercatat dan terekam dalam sejarah, termasuk asal usul nama Manado tidak memiliki catatan dokumentasi yang lengkap, kecuali yang dimiliki oleh bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda) yang datang menjajah karena terpesona oleh keindahan kekayaan alamnya. Sampai kini bukti fisik asal nama Manado masih diperdebatkan. Para akademisi dan tua-tua masyarakat masih berbeda pendapat. Banyak versi yang mencoba memberikan interpretasi.
Sebelum maju dan berkembang besar, Manado adalah bagian dari wilayah Minahasa. Sampai tahun 1947, Manado masih merupakan wilayah Minahasa. Wenang adalah nama pertama sebelum berubah menjadi Manado. Menurut Prof. Geraldine Manoppo-Watupongoh, pergantian nama Wenang menjadi Manado dilakukan oleh Spanyol pada tahun 1682. Menurutnya, Manado diambil dari nama pulau di sebelah Bunaken, yaitu pulau Manado (kini Manado Tua).
Sumber lainnya menyebutkan bahwa penggantian Wenang menjadi Manado bukan dilakukan oleh Spanyol, tetapi oleh Belanda. Sebab tahun 1682 yang berkuasa dan menjajah Sulawesi Utara bukan lagi bangsa Spanyol, tetapi VOC Belanda, sebab pada tahun 1677 sampai 31 Agustus 1682, gubernur jenderal Hindia Belanda di Ternate, Dr. Robertus Padtbrugge datang di Manado mencatat sisa-sisa penduduk kerajaan Bowontehu (kini Manado Tua) termasuk yang ada di Sindulang.
Mengapa Wenang harus diganti menjadi Manado? Sebab di dalam dokumen dan surat-surat penting bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda, nama Manado banyak tercantum dan lebih dikenal dibanding Wenang. Tahun 1623, nama Manado mulai dikenal dan digunakan di dalam surat-surat resmi. Itulah alasannya sehingga Wenang diganti menjadi Manado. Untuk menjaga nilai sejarahnya, di belakang kata Manado ditambahkan kata tua, sehingga menjadi Manado Tua hingga saat ini.
Versi lainnya menyebut bahwa nama Manado sebelumnya adalah Pogidon. Pogidon sering diidentikan dengan Wenang. Benarkah Pogidon sama dengan Wenang? Pogidon dan Wenang, adalah dua negeri yang berbeda. Wenang adalah negeri yang besar dan luas, yang kemudian namanya diubah menjadi Manado; sedangkan Pogidon adalah lokasi pemukiman kecil, yang merupakan bagian dari wilayah Wenang.
Pogidon merupakan akronim dari opo Gidon (nama pemimpin/leluhur Bantik), yang membangun negeri Pogidon. Korem 131 Manado, adalah eks negeri Pogidon. Seiring dengan perjalanan waktu, sebutan opo Gidon berubah menjadi Po Gidon, lalu penulisannya dirangkai menjadi Pogidon dan digunakan sebagai nama pemukiman. Sebelum menjadi lokasi pemukiman, negeri Pogidon banyak ditumbuhi pohon Wenang (Macaranga Hispida), yang dalam bahasa Bantik disebut Benang, sehingga negeri Pogidon oleh sub etnis Bantik disebut juga dengan nama Benang (bukan Wenang). Sebagai nama pohon Macaranga Hispida, Wenang dan Pogidon memiliki arti yang sama; namun sebagai lokasi pemukiman, negeri atau wanua Pogidon tidak sama dengan Wenang.
Dari bahasa mana Manado berasal? Kata Manado berasal dari bahasa daerah sub etnis di Sulawesi Utara. Penyebutannya berdasarkan dialek masing-masing. Bangsa Eropa menyebutnya berdasarkan lidah mereka. Orang Portugis menyebutnya Moradores; orang Spanyol menyebutnya Manados; Nicolaas Graafland (seorang Pendeta asal Belanda yang bertugas di Tanawangko dan Sonder) di dalam judul bukunya menyebutManadorezen; pejabat kompeni Belanda menyebutnya Manado’s Gebied, yang artinya daerah Manado ini atau kawasan Manado; Simao d’Abreu dan Antonio Galvao menyebutnya Manada, yang artinya kawanan, maksudnya kawanan pulau; dan orang Eropa lainnya menyebutnya Manado.
Berbagai versi penyebutan nama Manado yang berbeda tersebut kemungkinan karena kesalahan penulisan atau penyalinan, atau mungkin karena pengaruh pendengaran orang Eropa terhadap dialek bahasa lokal. Jika benar demikian, itu adalah hal yang lumrah, sebab sampai kini masih banyak orang salah menyebut dan menulis nama Manado menjadi Menado.
Walaupun kata Manado berasal dari bahasa lokal, namun kata yang hampir punah ini diwarisi dari dokumen-dokumen bangsa Eropa. Di dalam dokumen disebutkan bahwa nama Manado ditemukan oleh pelaut Portugis bernama Simao d’Abreu pada tahun 1523, dan merupakan pulau yang sudah berpenghuni sejak tahun 1339.
Namun Simao d’Abreu tidak mempublikasikan hasil temuannya itu. Nanti 32 tahun kemudian, yaitu tahun 1555, hasil temuannya dipublikasikan oleh Antonio Galvao, mantan gubernur Portugis di Maluku, di dalam bukunya yang berjudul Tratado. Di dalam Tratado diuraikan kalimat pendek yang berbunyi, “Ou eram vista das ilhas de Manada…”, yang artinya “mereka melihat Manada ….” Manada di dalam bahasa Portugis bukan Manado, tetapi kawanan pulau. Mungkin kawanan pulau yang dimaksud adalah Manado Tua, Bunaken, Siladen, Mantehage dan pulau Nain. Dua pulau yang disebutkan terakhir adalah wilayah Minahasa Utara.
Nicolaas Desliens pada tahun 1541, adalah orang Eropa lainnya asal Prancis mencantumkan nama Manado di peta dunia. Dari mana Desliens mendapatkan nama Manado? Kemungkinan dia mendapatkannya dari Simao d’Abreu. Kalau hal ini benar terjadi, berarti d’Abreu telah membocorkan informasi rahasia; sebab saat itu bangsa Portugis menerapkan politik tutup mulut sebagai kebijakan bagian distrik (politica de sigilio); artinya semua yang mereka temukan tidak boleh diketahui oleh bangsa Eropa lainnya. Manado yang dimaksudkan oleh Simao d’Abreu dan Antonio Galvao adalah Manado yang kini namanya berubah menjadi Manado Tua.
Bukan hanya orang Eropa yang memiliki banyak versi tentang nama Manado. Etnis dan sub etnis di Sulawesi Utara pun memiliki nama yang berbeda tentang Manado. Manado dalam bahasa tua Tombulu disebut Manaror, sub etnis Tontemboan menyebutnya Manarow, etnis Sangihe menyebutnya Manaro. Tak satu pun etnis dan sub etnis di Sulawesi Utara yang menyebut Manado mirip dengan apa yang didengar oleh Simao d’Abreu dan yang ditulis oleh Antonio Galvao, yaitu Manada.
Walaupun terdiri dari berbagai versi berbeda, tetapi yang pasti kata Manado adalah bahasa lokal di Sulawesi Utara yang hampir punah. Nama Manado yang dikenal saat ini berasal dari kata Manarow atau Manadou (bahasa daerah Minahasa), yang artinya “dijauh”; suatu sebutan yang hampir sama dengan bahasa Sangihe, yaitu Manaro, yang artinya juga “dijauh” atau “negeri yang jauh”.
KRONOLOGIS TERBENTUKNYA KOTA MANADO
1919
Tanggal 1 Juli 1919 : dimulai dari adanya besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dengan besluit itu, Gewest Manado ditetapkan sebagai Staatsgemeente yang kemudian dilengkapi dengan alat-alatnya antara lain Dewan gemeente atau Gemeente Raad yang dikepalai oleh seorang Walikota (Burgemeester)
1951
Tahun 1951: Gemeente Manado menjadikan bagian daerah Kota Manado dari Minahasa sesuai Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Nomor 223 tanggal 3 Mei 1951. Tanggal 7 April 1951: Terbentuklah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Periode 1951 -1953 sesuai Keputusan Gubernur Sulawesi Nomor 14
1953
Tahun 1953: Daerah Bagian Kota Manado diubah statusnya Daerah Kota Manado, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 42/1953juncto Peraturan Pemerintah Nomor 15/1954.
1954
Tahun 1954: Manado Menjadi Daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri, sesuai PP No tahun 1953 yo PP No 56 Tahun 1954.
1957
Tahun 1957: Manado menjadi Kota Praja, sesuai Undang–Undang Nomor 1 tahun 1957.
1959
Tahun 1959: Kota Praja Manado di tetapkan kedudukannya sebagai daerah tinggat II Manado, sesuai Undang–Undang Nomor 29 tahun 1959.
1965
Tahun 1965: Kota Praja Manado disempuranakan menjadi Kota Madya Manado dipimpin oleh Walikota Kepala Daerah Tingkat II sesuai Undang–Undang Nomor 18 tahun 1965 dan di sempurnakan lagi menjadi Walikotamadya Daerah Tingkat II, sesuai dengan Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
HARI JADI KOTA MANADO
Hari jadi Kota Manado yang ditetapkan pada tanggal 14 Juli 1623, merupakan momentum yang mengemas tiga peristiwa bersejarah sekaligus yaitu tanggal 14 yang diambil dari peristiwa heroik yaitu peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946, di mana putra daerah ini bangkit dan menentang penjajahan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, kemudian bulan Juli yang diambil dari unsur yuridis yaitu bulan Juli 1919, yaitu munculnya Besluit Gubernur Jenderal tentang penetapan Gewest Manado sebagai Staatgemeente dikeluarkan dan tahun 1623 yang diambil dari unsur historis yaitu tahun di mana Kota Manado dikenal dan digunakan dalam surat-surat resmi. Berdasarkan ketiga peristiwa penting tersebut, maka tanggal 14 Juli 1989, Kota Manado merayakan HUT-nya yang ke-367. Sejak saat itu hingga sekarang tanggal tersebut terus dirayakan oleh masyarakat dan pemerintah Kota Manado sebagai hari jadi Kota Manado.